Jumat, 25 November 2011

Sejarah Estetika

1 komentar:

  1. Susanne Katherina Langer
    “Pemikir Estetika pada Periode Modernisme”

    Susanne K. Langer lahir pada tahun 1895. Ia mendapatkan gelar sarjananya dari Radcliffe College, Cambridge, Massachussetts pada 1920, kemudian ia mendapatkan gelar master dan doktor dalam bidang filsafat dari Harvard pada tahun 1924 dan 1926. Selama 15 tahun kemudian, Langer mengajar filsafat di beberapa tempat, diantaranya Radcliffe, Wellesley, Smith dan juga beberapa tempat lainnya. Pada tahun 1942, ia bercerai dengan suaminya William L. Langer, yang menikahinya pada tahun 1921. Langer juga merupakan seorang profesor dalam bidang filsafat di Connecticut College di New London. Ia pensiun dengan hormat pada tahun 1962. Pada tahun 1945-1950, ia mengajar di Columbia University dimana ia mendapat dana bantuan dari Rockefeller Foundation untuk menulis buku Feeling and Form : A Theory of Art (1953). Langer menghabiskan tahun terakhir dari hidupnya dengan tinggal di rumahnya yang bergaya kolonial di Old Lyme on Human Feeling (1967, 1972, dan 1982) yang merupakan puncak dari kehidupan karyanya.
    Susanne K. langer adalah pemikir estetika pada periode modernisme. Dalam sebuah gagasannya, beliau membicarakan mengenai oposisi binner simbolisme. Dalam kajian maknanya, simbolisasi suatu objek estetis menjadi suatu hal yang penting, karena makna secara tajam dapat diamati pada proses penyimbolan satu fenomena atau juga penyimbolan gagas estetik. Peranan Langer di sini dalam memaparkan teori simbol-simbol menjadi lebih penting.
    Simbol yang ”diskursif” atau yang nalar dalam lingkup Neopositivisme, merupakan simbol logika modern untuk melakukan berbagai analisa pengungkapan. Simbol-simbol ini secara jelas terlihat dalam konstruksi logika kebahasaan. Tiap simbol mewakili satu nama, sehingga deretan simbol akan tersusun menurut aturan sintaksis tertentu yang menghasilkan suatu gambaran mengenai satu kenyataan tertentu. Simbol diskursif menyiratkan suatu struktur yang dibangun oleh berbagai unsur teratur yamg dapat dipahami maknanya. Tidak ditaatinya aturan yang menghubungkan unsur tersebut, akan menyebabkan tidak adanya stuktur yang jelas dan kaburnya makna simbol itu. Jika hal ini diterapkan dalam kalimat, misalnya tidak ditaatinya hukum sintaksis, maka menyebabkan kalimat tersebut kehilangan maknanya, sehingga tidak dapat dipahami.
    Langer mempertanyakan kemungkinan suatu jenis simbol lain yang pemahamannya tidak bergantung pada hukum yang mengatur perhubungan unsur-unsurnya, tetapi pada intuisi. Jenis simbol inilah yang disebut sebagai simbol ”presentasional”. Simbol macam ini tidak berupa suatu konstruksi yang dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya, tetapi suatu kesatuan bulat dan utuh. Simbol tersebut dapat menjadi unsur dari suatu simbol ”diskursif”. Sebagi unsur, simbol presentasional tidak dapat diuraikan lagi ke bagian yang lain yang lebih kecil. Simbol presentasional tidak harus menjadi unsur saja, namun dapat berdiri sendiri sebagai suatu simbol yang penuh , bukan sebagai konstruksi, bukan pula sebagai unsur dari suatu susunan. Simbol semacam itulah yang yang terdapat dalam kreasi seni atau karya estetik.

    BalasHapus